Pertemuan ajaib tengah malam. Saat bulan tepat pada bulatannya. Cerita seorang teman lama yang haru dan pikuk oleh tawa. Ide yang lama, ide yang bertahun2 terpisah. "Ini malam kita, kawan".
Cerita satu cinta mulai terucap dari mulut sang pendiam, penuh luka, penuh kesedihan dan kepedihan. Kata per kata, kalimat per kalimat tertutur lancar dari mulut sang pemikir. Satu menit berselang, dia lupa akan sedihnya, dia lupa akan pedihnya, luka menganga sedikit tertutup, cukup satu menit. Dia tertawa lepas, seperti bintang jatuh yang meluncur bebas tanpa batas.
Cappucino, jangan dulu pergi, masih banyak cerita dari dalam diri. Temani aku, seperti biasa. Seperti biasa kamu menyambutku dengan tawa, membuat langit gelap, seolah esok aku takkan lagi menemui keraguan cinta.
Jam mulai menunjukkan jam 5 pagi. Namun, tawaku membuat alarm seperti membisu. Membuat aku terlarut dan melarut dalam setiap tetesnya. Sebuah misteri akan keberadaanku ialah saat kedewasaan bermula dari secangkir cappucino. Itu bagus, menurutku. Otak kita menjadi aktif, seaktif lagu hari ini yang kuputar berulang-ulang.
Mentari, datanglah agak terlambat. Aku mulai suka dengan keadaan ini. Satu per satu cerita sedih kuubah menjadi tawa. Tak ada penyaring saat aku mencerna sebuah intisari, bagaimana kita bisa melupakan kesedihan oleh segelas kafein berbusa. Langkah semakin berat, kulepaskan genggaman satu persatu, perlahan.
Kawan, besok masih ada hari, langit masih di atas, dan bumi tetap bulat pada porosnya. Kita akhiri hari ini dengan tegukan ke 30. Tetes terakhir yang ingin kureguk dengan segera, seperti mereguk kesedihan terakhir. Semoga.
Satu Cinta, Segelas Cappucino.
No comments:
Post a Comment